Selasa, 11 September 2012

ARTIKEL SOSIOLOGI

-->
PERSPEKTIF DALAM SOSIOLOGI
Sebelum mempelajari perspektif sosiologi, ada baiknya kita mempelajari terlebih dahulu pengertian dari sosiologi itu sendiri. Istilah sosiologi pertama kali dikemukakan oleh ahli filsafat, moralis sekaligus sosiolog berkebangsaan Perancis, Auguste Comte melalui sebuah karyanya yang berjudul Cours de Philosophie Positive. Secara etimologis ( asal kata ) sosiologi berasal dari kata socius dan logos. Dalam bahasa Romawi( Latin ) socius berarti teman atau sesama dan logos yang artinya ilmu. Jadi, secara harfiah sosiologi berarti membicarakan atau memperbincangkan pergaulan hidup manusia. Pengertian tersebut akhirnya diperluas menjadi ilmu pengetahuan yang membahas dan mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat.
Sosiologi berkembang melalui perjalanan yang panjang selama berabad-abad. Sosiologi dapat berkembang pesar di Eropa dan Amerika karena merupakan pusat pertumbuhan peradaban dunia sehingga beragam ilmu pengetahuan berkembang pesat termasuk sosiologi. Auguste Comte pertama kali memperkenalkan istilah sosiologi, sehingga ia dianugerahi sebagai “Bapak Sosiologi”. Sejak saat itu lahirlah ilmuwan-ilmuwan dalam ilmu sosiologi seperti Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan lain sebagainya. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial. Sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, yang kategoris, murni, abstrak,  berusaha memberi pengertian-pengertian umum, rasional dan empiris, serta bersifat umum.
Ada batasan-batasan antara ilmu sosiologi dengan ilmu sosial yang laian. Sosiologi mempelajari masyarakat secara keseluruhan dan hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tadi dan perilaku yang berstruktur yang bersifat analitis serta sistematis. Sosiologi sebagai ilmu mempunyai ciri-ciri yaitu empiris, teoritis, kumulatif, dan nonetis. Sedangkan sifat hakikat sosiologi adalah sosiologi merupakan ilmu sosial karena yang dipelajari adalah gejala-gejala kemasyarakatan; Sosiologi termasuk ilmu normatif; Sosiologi termasuk ilmu pengetahuan murni (pure science) dan ilmu pengetahuan terapan; Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan abstrak dan bukan ilmu pengetahuan konkret; Sosiologi bertujuan menghasilkan pengertian dan pola-pola umum; Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional; serta sosiologi merupakan ilmu pengetahuan umum, artinya sosiologi mempunyai gejala-gejala umum yang ada pada interaksi antara manusia.
Yang perlu kita kaji dalam hal ini adalah :
1.      Apakah perspektif teoritis utama dalam sosiologi ?
2.      Apakah perspektif sosiologi  itu ?
Untuk menjawab pertanyaan demikan, maka marilah kita uraikan satu per satu.

PERSPEKTIF UTAMA DALAM SOSIOLOGI.
menurut hensil, perspektif adalah cara memndang sesuatu objek. jadi jika dikaitkan dengan perspektif sosiologi adalah, cara sosiologi memandang suatu objek.

Dalam masyarakat tentunya sering ditemukan beberapa pandangan yang berbeda satu sama lain. Dalam melihat kenyataan sosial atau biasa disebut dengan realitas sosial dalam masyarakat juga demikian. Penalaran atau penilaian atas sebuah realitas umumnya dimulai dengan asumsi ( assumption ), yaitu dugaan individu yang belum teruji kebenarannya. Dari asumsi-asumsi tersebut berkembang menjadi perspektif, pandangan, atau paradigma. Berikut ini beberapa perspektif dalam sosiologi.
1. Perspektif Fungsionalis
Dalam perspektif ini, masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi dan teratur, serta memiliki seperangkat aturan dan nilai yang dianut sebagian besar anggota masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil, selaras, dan seimbang. Dengan demikian menurut pandangan perspektif ini, setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu secara terus-menerus, karena hal itu fungsional. Sehingga, pola perilaku timbul karena secara fungsional bermanfaat dan apabila kebutuhan itu berubah, pola itu akan hilang atau berubah.
dalam perspektif ini, masyarakat dianggap sebagai sebuah sistim yang memiliki funsional masing-masing atau peran masing-masing. jika fungsional tidak berjalan, maka terjadilan unfungsionalis.
Hal ini juga berarti bahwa perubahan sosial akan mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil tersebut. Namun tidak lama kemudian akan tercipta kembali keseimbangan. Perspektif ini lebih menekankan pada keteraturan dan stabilitas dalam masyarakat. Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, pendidikan, dan agama dianalisis dalam bentuk bagaimana lembaga-lembaga itu membantu mencukupi kebutuhan masyarakat. Ini berarti lembaga-lembaga itu dalam analisis ini dilihat seberapa jauh peranannya dalam memelihara stabilitas masyarakat. Perspektif fungsionalis menekankan pada empat hal berikut ini.
a. Masyarakat tidak bisa hidup kecuali anggota-anggotanya mempunyai persamaan persepsi, sikap, dan nilai.
b. Setiap bagian mempunyai kontribusi pada keseluruhan.
c. Masing-masing bagian terintegrasi satu sama lain dan saling memberi dukungan.
d. Masing-masing bagian memberi kekuatan, sehingga keseluruhan masyarakat menjadi stabil.
Dalam perspektif ini, masyarakat dianggap sebagai sebuah jaringan teroganisir yang masing-masing mempunyai fungsi. Institusi sosial dalam masyarkaat mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang saling mendukung. Masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem stabil yang cenderung mengarah pada keseimbangan dan mejaga keharmonisan sistem. Pandangan ini banyak dianut intelektual Orde Baru dalam mendukung kekuasaan pemerintah. Beberapa sosiolog pendukung perspektif ini adalah Talcott Parsons, Kingsley Davis, dan Robert K. Merton. Seorang antropolog yang juga sangat mendukung perspektif ini, bahkan dapat dikatakan sebagai pelopornya adalah Bronislaw Malinowsky (Polandia).
2. Perspektif Interaksionisme
Perspektif ini cenderung menolak anggapan bahwa fakta sosial adalah sesuatu yang determinan terhadap fakta sosial yang lain. Bagi perspektif ini, orang sebagai makhluk hidup diyakini mempunyai perasaan dan pikiran. Dengan perasaan dan pikiran orang mempunyai kemampuan untuk memberi makna terhadap situasi yang ditemui, dan mampu bertingkah laku sesuai dengan interpretasinya sendiri. Sikap dan tindakan orang tidak dipaksa oleh struktur yang berada di luarnya (yang membingkainya) serta tidak semata-mata ditentukan oleh masyarakat. Jadi, orang dianggap bukan hanya mempunyai kemampuan mempelajari, memahami, dan melaksanakan nilai dan norma masyarakatnya, melainkan juga bisa menemukan, menciptakan, serta membuat nilai dan norma sosial (yang sebagian benar-benar baru). Karena itu orang dapat membuat, menafsirkan, merencanakan, dan mengontrol lingkungannya.
Pandangan ini mengkaji masyarakat dari interaksi simbolik yang terjadi di antara individu dan kelompok masyarakat. Tokoh yang menganut pandangan interaksionis misalnya G.H Mead dan C. H Cooley. Mereka berpendapat bahwa interaksi manusia berlangsung melalui serangkaian simbol yang mencakup gerakan, tulisan, ucapan, gerakan tubuh, dan lain sebagainya. Pandangan ini lebih mengarah pada studi individual atau kelompok kecil dalam suatu masyarakat, bukan pada kelompok-kelompok besar atau institusi sosial.
Singkatnya, perspektif ini memusatkan perhatian pada interaksi antara individu dengan kelompok, terutama dengan menggunakan simbol-simbol, antara lain tanda, isyarat, dan katakata baik lisan maupun tulisan. Atau dengan kata lain perspektif ini meyakini bahwa orang dapat berkreasi, menggunakan, dan berkomunikasi melalui simbol-simbol. Tokoh-tokoh yang terkenal sebagai penganut perspektif ini adalah George Herbert Mead dan W.I. Thomas.
3. Perspektif Konflik
Perspektif ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha memelihara dan meningkatkan posisinya. Perspektif ini beranggapan bahwa kelompokkelompok tersebut mempunyai tujuan sendiri yang beragam dan tidak pernah terintegrasi. Dalam mencapai tujuannya, suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok lain. Karena itu konflik selalu muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu berusaha meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya.
Ciri lain dari perspektif ini adalah cenderung memandang nilai dan moral sebagai rasionalisasi untuk keberadaan kelompok yang berkuasa. Dengan demikian kekuasaan tidak melekat dalam diri individu, tetapi pada posisi orang dalam masyarakat. Pandangan ini juga menekankan bahwa fakta sosial adalah bagian dari masyarakat dan eksternal dari sifatsifat individual. Singkatnya, pandangan ini berorientasi pada studi struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial. Ia memandang masyarakat terus- menerus berubah dan masing-masing bagian dalam masyarakat potensial memacu dan menciptakan perubahan sosial. Dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial, perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan. Tokoh yang menganut perspektif ini adalah Karl Marx dan Frederich Engles.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar