PERSPEKTIF
DALAM SOSIOLOGI
Sebelum mempelajari perspektif sosiologi, ada baiknya kita mempelajari
terlebih dahulu pengertian dari sosiologi itu sendiri. Istilah sosiologi
pertama kali dikemukakan oleh ahli filsafat, moralis sekaligus sosiolog berkebangsaan
Perancis, Auguste Comte melalui sebuah karyanya yang berjudul Cours de
Philosophie Positive. Secara etimologis ( asal kata ) sosiologi berasal dari
kata socius dan logos. Dalam bahasa Romawi( Latin ) socius berarti teman atau
sesama dan logos yang artinya ilmu. Jadi, secara harfiah sosiologi berarti
membicarakan atau memperbincangkan pergaulan hidup manusia. Pengertian tersebut
akhirnya diperluas menjadi ilmu pengetahuan yang membahas dan mempelajari
kehidupan manusia dalam masyarakat.
Sosiologi berkembang melalui perjalanan yang panjang
selama berabad-abad. Sosiologi dapat berkembang pesar di Eropa dan Amerika
karena merupakan pusat pertumbuhan peradaban dunia sehingga beragam ilmu
pengetahuan berkembang pesat termasuk sosiologi. Auguste Comte pertama kali
memperkenalkan istilah sosiologi, sehingga ia dianugerahi sebagai “Bapak
Sosiologi”. Sejak saat itu lahirlah ilmuwan-ilmuwan dalam ilmu sosiologi
seperti Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan lain
sebagainya. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial, termasuk didalamnya perubahan-perubahan sosial. Sosiologi
merupakan suatu ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, yang kategoris, murni,
abstrak, berusaha memberi pengertian-pengertian umum, rasional dan
empiris, serta bersifat umum.
Ada batasan-batasan antara ilmu sosiologi dengan ilmu
sosial yang laian. Sosiologi mempelajari masyarakat secara keseluruhan dan
hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tadi dan perilaku yang berstruktur
yang bersifat analitis serta sistematis. Sosiologi sebagai ilmu mempunyai
ciri-ciri yaitu empiris, teoritis, kumulatif, dan nonetis. Sedangkan sifat
hakikat sosiologi adalah sosiologi merupakan ilmu sosial karena yang dipelajari
adalah gejala-gejala kemasyarakatan; Sosiologi termasuk ilmu normatif;
Sosiologi termasuk ilmu pengetahuan murni (pure science) dan ilmu pengetahuan
terapan; Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan abstrak dan bukan ilmu
pengetahuan konkret; Sosiologi bertujuan menghasilkan pengertian dan pola-pola
umum; Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional; serta
sosiologi merupakan ilmu pengetahuan umum, artinya sosiologi mempunyai
gejala-gejala umum yang ada pada interaksi antara manusia.
Yang perlu kita kaji dalam hal ini adalah :
1.
Apakah perspektif
teoritis utama dalam sosiologi ?
2.
Apakah perspektif
sosiologi itu ?
Untuk menjawab pertanyaan demikan, maka marilah kita
uraikan satu per satu.
PERSPEKTIF UTAMA DALAM SOSIOLOGI.
menurut hensil, perspektif adalah cara memndang sesuatu objek. jadi jika dikaitkan dengan perspektif sosiologi adalah, cara sosiologi memandang suatu objek.
Dalam masyarakat tentunya sering ditemukan beberapa
pandangan yang berbeda satu sama lain. Dalam melihat kenyataan sosial atau
biasa disebut dengan realitas sosial dalam masyarakat juga demikian. Penalaran
atau penilaian atas sebuah realitas umumnya dimulai dengan asumsi ( assumption
), yaitu dugaan individu yang belum teruji kebenarannya. Dari asumsi-asumsi
tersebut berkembang menjadi perspektif, pandangan, atau paradigma. Berikut ini
beberapa perspektif dalam sosiologi.
1. Perspektif Fungsionalis
Dalam perspektif ini, masyarakat dilihat sebagai suatu
jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi dan teratur, serta
memiliki seperangkat aturan dan nilai yang dianut sebagian besar anggota
masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang
stabil, selaras, dan seimbang. Dengan demikian menurut pandangan perspektif
ini, setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu secara
terus-menerus, karena hal itu fungsional. Sehingga, pola perilaku timbul karena
secara fungsional bermanfaat dan apabila kebutuhan itu berubah, pola itu akan
hilang atau berubah.
dalam perspektif ini, masyarakat dianggap sebagai sebuah sistim yang memiliki funsional masing-masing atau peran masing-masing. jika fungsional tidak berjalan, maka terjadilan unfungsionalis.
Hal ini juga berarti bahwa perubahan sosial akan mengganggu
keseimbangan masyarakat yang stabil tersebut. Namun tidak lama kemudian akan
tercipta kembali keseimbangan. Perspektif ini lebih menekankan pada keteraturan
dan stabilitas dalam masyarakat. Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga,
pendidikan, dan agama dianalisis dalam bentuk bagaimana lembaga-lembaga itu
membantu mencukupi kebutuhan masyarakat. Ini berarti lembaga-lembaga itu dalam
analisis ini dilihat seberapa jauh peranannya dalam memelihara stabilitas
masyarakat. Perspektif fungsionalis menekankan pada empat hal berikut ini.
a.
Masyarakat tidak bisa hidup kecuali anggota-anggotanya mempunyai persamaan
persepsi, sikap, dan nilai.
b.
Setiap bagian mempunyai kontribusi pada keseluruhan.
c.
Masing-masing bagian terintegrasi satu sama lain dan saling memberi dukungan.
d.
Masing-masing bagian memberi kekuatan, sehingga keseluruhan masyarakat menjadi
stabil.
Dalam perspektif ini, masyarakat dianggap sebagai sebuah
jaringan teroganisir yang masing-masing mempunyai fungsi. Institusi sosial
dalam masyarkaat mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang saling
mendukung. Masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem stabil yang cenderung mengarah
pada keseimbangan dan mejaga keharmonisan sistem. Pandangan ini banyak dianut
intelektual Orde Baru dalam mendukung kekuasaan pemerintah. Beberapa sosiolog
pendukung perspektif ini adalah Talcott Parsons, Kingsley Davis, dan Robert K.
Merton. Seorang antropolog yang juga sangat mendukung perspektif ini, bahkan
dapat dikatakan sebagai pelopornya adalah Bronislaw Malinowsky (Polandia).
2. Perspektif Interaksionisme
Perspektif ini cenderung menolak anggapan bahwa fakta sosial
adalah sesuatu yang determinan terhadap fakta sosial yang lain. Bagi perspektif
ini, orang sebagai makhluk hidup diyakini mempunyai perasaan dan pikiran.
Dengan perasaan dan pikiran orang mempunyai kemampuan untuk memberi makna
terhadap situasi yang ditemui, dan mampu bertingkah laku sesuai dengan
interpretasinya sendiri. Sikap dan tindakan orang tidak dipaksa oleh struktur
yang berada di luarnya (yang membingkainya) serta tidak semata-mata ditentukan
oleh masyarakat. Jadi, orang dianggap bukan hanya mempunyai kemampuan
mempelajari, memahami, dan melaksanakan nilai dan norma masyarakatnya,
melainkan juga bisa menemukan, menciptakan, serta membuat nilai dan norma
sosial (yang sebagian benar-benar baru). Karena itu orang dapat membuat,
menafsirkan, merencanakan, dan mengontrol lingkungannya.
Pandangan ini mengkaji masyarakat dari interaksi simbolik
yang terjadi di antara individu dan kelompok masyarakat. Tokoh yang menganut
pandangan interaksionis misalnya G.H Mead dan C. H Cooley. Mereka berpendapat
bahwa interaksi manusia berlangsung melalui serangkaian simbol yang mencakup
gerakan, tulisan, ucapan, gerakan tubuh, dan lain sebagainya. Pandangan ini
lebih mengarah pada studi individual atau kelompok kecil dalam suatu
masyarakat, bukan pada kelompok-kelompok besar atau institusi sosial.
Singkatnya, perspektif ini memusatkan perhatian pada
interaksi antara individu dengan kelompok, terutama dengan menggunakan
simbol-simbol, antara lain tanda, isyarat, dan katakata baik lisan maupun
tulisan. Atau dengan kata lain perspektif ini meyakini bahwa orang dapat
berkreasi, menggunakan, dan berkomunikasi melalui simbol-simbol. Tokoh-tokoh
yang terkenal sebagai penganut perspektif ini adalah George Herbert Mead dan
W.I. Thomas.
3. Perspektif Konflik
Perspektif
ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai
akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha memelihara dan
meningkatkan posisinya. Perspektif ini beranggapan bahwa kelompokkelompok
tersebut mempunyai tujuan sendiri yang beragam dan tidak pernah terintegrasi.
Dalam mencapai tujuannya, suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok
lain. Karena itu konflik selalu muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap
saat selalu berusaha meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya.
Ciri
lain dari perspektif ini adalah cenderung memandang nilai dan moral sebagai
rasionalisasi untuk keberadaan kelompok yang berkuasa. Dengan demikian
kekuasaan tidak melekat dalam diri individu, tetapi pada posisi orang dalam
masyarakat. Pandangan ini juga menekankan bahwa fakta sosial adalah bagian dari
masyarakat dan eksternal dari sifatsifat individual. Singkatnya, pandangan ini
berorientasi pada studi struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial. Ia
memandang masyarakat terus- menerus berubah dan masing-masing bagian dalam
masyarakat potensial memacu dan menciptakan perubahan sosial. Dalam konteks
pemeliharaan tatanan sosial, perspektif ini lebih menekankan pada peranan
kekuasaan. Tokoh yang menganut perspektif ini adalah Karl Marx dan Frederich
Engles.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar