Sabtu, 08 September 2012

Materi Hukum Pidana Khusus


Nama  : EKA PERIAMAN ZAI
Npm    : 0810012111017
MATRIKS PENYIMPANGAN HUKUM FORMAL
DALAM HUKUM PIDANA KHUSUS

No
Penyimpangan
KUHAP
HUKUM PIDANA KHUSUS
Pasal
Isi Pasal
UU
Pasal
Isi Pasal
1.
Penyidik
 6
a.       pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b.      pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
Tipikor
26
Pasal 26

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang‑undang ini.

KPK
45
Penyidikan
Pasal 45
(1) Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
Narkotika
71. 88
Pasal 71
Dalam rangka melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan presekutor narkotika, BNN berwenang melakukanpenyelidikan dan penyelidikan penyahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan presekutor narkotika
Pasal 88
  1. penyidik pegawai negeri sipil  tertentu yang melakukan penyitaan terhadap narkotika dan presekutor narkotika wajib membuat berita  acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acara kepada penyidik BNN atau penyidik kepolisian Negara republik Indonesia setempat dalam waktu yang paling lama 3 x4 ( tiga kali dua puluh ampat ) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acara disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat,ketua pengadilan setempat,menteri dan kepala badan pengawas obat dan makanan

  1. Penyerahan barang sitaan              sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan   dalam waktu paling lama 14(empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit
terjangkau karena faktor geografis atau transportasi
2.
Jenis Alat Bukti
184
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Terorisme
27
Pasal 27

Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a.         alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b.         alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c.         data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :

            1)         tulisan, suara, atau gambar;
            2)         peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
            3)         huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Narkotika
86
Pasal 86
(1)    Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana
 dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
(2)    Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.       informasi yang diucapkan,dikirimkan, diterima,ataudisimpan secara elektronikdenganalat optikatauyangserupa dengan itu;   dan
b.      data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar, yang  dapat dikeluarkan dengan
atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun
yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
  1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
  2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
  3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi
yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pencucian Uang
Pasal1 (7) dan pasal 38
Pasal 1
(7)      Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
          a.       tulisan, suara, atau gambar;
          b.       peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
          c.       huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.




Pasal 38

Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa:
a.       alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b.       alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c.       dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.


UU korupsi
26 A
Pasal 26 A

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang‑undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a.         alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b.         dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna
3.
Beban Pembuktian


Tipikor
12 B
Pasal 12 B

(1)        Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
                        a.         yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
                        b.         yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2)        Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pencucian uang
35
Pasal 35

Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.


4.
Peradilan in absentia
213
Pasal 213
Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.
Tipikor
38
Pasal 38

(1)        Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
(2)        Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat‑surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3)        Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4)        Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5)        Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang‑barang yang telah disita.
(6)        Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.
(7)        Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

Pencucian Uang
36, 37
Pasal 36

(1)      Dalam hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
(2)      Apabila dalam sidang berikutnya sebelum perkara diputus terdakwa hadir, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan apabila terdakwa telah hadir sejak semula.
(3)      Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum dalam papan pengumuman pengadilan yang memutus dan sekurang‑kurangnya dimuat dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki jangkauan peredaran secara nasional sekurang‑kurangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari atau 3 (tiga) kali penerbitan secara terus‑menerus.

Pasal 37

Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti‑bukti yang meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa Harta Kekayaan terdakwa yang telah disita, dirampas untuk negara.


Tindak Pidana Ekonomi
16
(1)   Jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak-pidana ekonomi, maka hakim -- atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat :

a.       memutusperampasan barang-barangyang telah disita. Dalam hal itu pasal 10 undang-undang darurat ini berlaku sepadan;

b.       memutus bahwa tindakan tata-tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.

(2)      Putusan itu diumumkan oleh panitera dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjuk oleh hakim. Turunan dari putusan itu disampaikan kepada rumah di mana orang itu meninggal dunia.

(3)       Setiap orang yang berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada panitera pengadilan atas putusan itu dalam masa tiga bulan setelah pengumuman termaksud ayat 2.

(4)        Dalam hal itu jaksa didengar; pihak yang berkepentingan itu didengar juga, setidak-tidaknya dipanggil semestinya untuk menghadap.

(5)        Putusan hakim harus memuat alasan-alasan. Terhadap putusan itu tidak dapat dimintakan bandingan atau kasasi.

(6)        Ketentuan tersebut dalam ayat 1 pada permulaan kalimat dan di bawah a berlaku juga, jika berdasarkan alasan-alasan dapat diterima bahwa tindak-pidana ekonomi itu dilakukan oleh seorang yang tidak dikenal. Putusan itu diumumkan dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih surat kabar yang akan ditunjuk oleh hakim.

Terorisme
35
Pasal 35
(1)      Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.

(2)      Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat‑surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.

(3)      Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.

(4)      Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan kasasi atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(5)      Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana terorisme, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telah disita.

(6)      Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya hukum.

(7)      Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

5.
Jenis Upaya Paksa


Terorisme
29,30,31
Pasal 29

(1)      Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.
(2)      Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a.nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b.identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh bank dan lembaga jasa keuangan kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa;
c.alasan pemblokiran;
d.tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat harta kekayaan berada.
(3)      Bank dan lembaga jasa keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima.
(4)      Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.
(5)      Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada bank dan lembaga jasa keuangan yang bersangkutan.
(6)      Bank dan lembaga jasa keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Pasal 30

(1)      Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme.
(2)      Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang‑undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3)      Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a.nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b.identitas setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme;
c.tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat harta kekayaan berada.
(4)      Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh :
a.Kepala Kepolisian Daerah atau pejabat yang setingkat pada tingkat Pusat dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;

b.Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum;

c.Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.

Pasal 31

(1)  Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), penyidik berhak:
a.membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa;

b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.

(2)      Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

(3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
       (2)  harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada                      atasan penyidik.
Narkotika
75, 77,80
Pasal 75
Dalam rangka  melakukan penyidikan, penyidik BNN
berwenang:
  1. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  2. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
  1. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
  2. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
  1. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti
tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  1. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
  1. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
  1. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional;
  2. melakukan penyadapan yang terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelahterdapat bukti awal yangcukup;
  1. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan
penyerahan di bawah pengawasan;
  1. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  2. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuhlainnya;
  3. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
  4. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;
  5. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  1. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita;
  2. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang
bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
  1. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;dan
  1. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti
adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 77
(1)    Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang
cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak surat penyadapan diterima penyidik.
(2)    Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
(3)    Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(4)    Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 80
Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga
berwenang:
  1. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan
barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada
jaksa penuntut umum;
  1. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga
keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
  1. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
  1. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
  1. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
  2. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
  3. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
  1. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian,
penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri

KPK
12
Pasal 12
(1)   Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan,dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KomisI Pemberantasan Korupsi berwenang :
  1. melakukan penyadapan dan mereka pembicaraan;
  2. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
  3. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
  1. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yan terkait;
  2. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
  3. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
  4. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki ole tersangka atau terdakwa yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
  1. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
  2. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait
untuk melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pencucian uang
32,33,34
Pasal 32

(1)      Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.
(2)      Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
         a.       nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
         b.       identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa;
         c.       alasan pemblokiran;
         d.       tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
         e.       tempat Harta Kekayaan berada.
(3)      Penyedia Jasa Keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima.
(4)      Penyedia Jasa Keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak       tanggal pelaksanaan pemblokiran.
(5)      Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang bersangkutan.
(6)      Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Pasal 33

(1)      Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
(2)      Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang‑undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3)      Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
         a.       nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
         b.       identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa;
         c.       tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
         d.       tempat Harta Kekayaan berada.
(4)      Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh:
a.       Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;
b.       Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum;
c.       Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.

Pasal 34

Dalam hal diperoleh bukti yang cukup sebagai hasil pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa, hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh penyidik atau penuntut umum.


6.
Jangka waktu penangkapan
19 (1)
Pasal 19
(1)     penangkapan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama 1 hari.
Terorisme
28
Pasal 28

Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.

Narkotika
76
(1)   Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3
x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik.
(2)   Penangkapansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
7.
Ganti Rugi terhadap korban
98
Pasal 19
(1)   Jika suatu perbuatan menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidan oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua siding atas permintaan orang itudapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidan itu.
(2)   Permintaan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Terorisme
36,37,38,
39, 40, 41, 42.
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 36

(1)      Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.

(2)      Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.

(3)      Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.

(4)      Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

Pasal 37

(1)      Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh          pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2)      Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 38

(1)      Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.

(2)      Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.

(3)      Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Pasal 39

Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.

Pasal 40

(1)      Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut.

(2)      Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.

(3)      Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

Pasal 41

(1)      Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan.

(2)      Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.

Pasal 42

Dalam hal pemberian kompensasi dan/atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan dilaporkan kepada pengadilan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar