Nama : EKA PERIAMAN ZAI
Npm : 0810012111017
MATRIKS PENYIMPANGAN HUKUM FORMAL
DALAM HUKUM PIDANA KHUSUS
No
|
Penyimpangan
|
KUHAP
|
HUKUM
PIDANA KHUSUS
|
|||
Pasal
|
Isi
Pasal
|
UU
|
Pasal
|
Isi
Pasal
|
||
1.
|
Penyidik
|
6
|
a. pejabat polisi negara Republik
Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
|
Tipikor
|
26
|
Pasal 26
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku,
kecuali ditentukan lain dalam Undang‑undang ini.
|
KPK
|
45
|
Penyidikan
Pasal 45
(1) Penyidik adalah Penyidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan
tindak pidana korupsi.
|
||||
Narkotika
|
71.
88
|
Pasal
71
Dalam rangka melaksanakan tugas
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan presekutor
narkotika, BNN berwenang melakukanpenyelidikan dan penyelidikan penyahgunaan
dan peredaran gelap narkotika dan presekutor narkotika
Pasal
88
terjangkau
karena faktor geografis atau transportasi
|
||||
2.
|
Jenis Alat Bukti
|
184
|
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli; c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa. |
Terorisme
|
27
|
Pasal 27
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a. alat
bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat
bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. data,
rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau
sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau
perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya.
|
Narkotika
|
86
|
Pasal
86
(1) Penyidik
dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana
dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
(2) Alat
bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi
yang diucapkan,dikirimkan, diterima,ataudisimpan secara elektronikdenganalat
optikatauyangserupa dengan itu; dan
b. data
rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan
dengan
atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang
di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas
maupun
yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang
mampu membaca atau memahaminya.
|
||||
Pencucian
Uang
|
Pasal1
(7) dan pasal 38
|
Pasal 1
(7) Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
a. tulisan,
suara, atau gambar;
b. peta,
rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf,
tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 38
Alat bukti pemeriksaan tindak
pidana pencucian uang berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
|
||||
UU
korupsi
|
26
A
|
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 188 ayat (2) Undang‑undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna
|
||||
3.
|
Beban Pembuktian
|
Tipikor
|
12
B
|
Pasal
12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
|
||
Pencucian uang
|
35
|
Pasal 35
Untuk kepentingan pemeriksaan
di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya
bukan merupakan hasil tindak pidana.
|
||||
4.
|
Peradilan in absentia
|
213
|
Pasal
213
Terdakwa
dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.
|
Tipikor
|
38
|
Pasal 38
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil
secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka
perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang
berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan
segala keterangan saksi dan surat‑surat yang dibacakan dalam sidang
sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa
kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman
pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan
banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia
sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang
bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan
penuntut umum menetapkan perampasan barang‑barang yang telah disita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat
mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tigapuluh) hari
terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
|
Pencucian
Uang
|
36,
37
|
Pasal 36
(1) Dalam
hal terdakwa telah dipanggil 3 (tiga) kali secara sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang‑undangan yang berlaku tidak hadir, Majelis Hakim dengan
putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Apabila dalam sidang berikutnya sebelum perkara diputus
terdakwa hadir, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi
dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya mempunyai kekuatan
pembuktian yang sama dengan apabila terdakwa telah hadir sejak semula.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan
oleh penuntut umum dalam papan pengumuman pengadilan yang memutus dan
sekurang‑kurangnya dimuat dalam 2 (dua) surat kabar yang memiliki jangkauan
peredaran secara nasional sekurang‑kurangnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari
atau 3 (tiga) kali penerbitan secara terus‑menerus.
Pasal 37
Dalam hal terdakwa meninggal
dunia sebelum putusan hakim dijatuhkan dan terdapat bukti‑bukti yang
meyakinkan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian
uang, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan bahwa Harta Kekayaan terdakwa
yang telah disita, dirampas untuk negara.
|
||||
Tindak
Pidana Ekonomi
|
16
|
(1)
Jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang
yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tak dapat
diubah lagi, telah melakukan tindak-pidana ekonomi, maka hakim -- atas
tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat :
a. memutusperampasan
barang-barangyang telah disita. Dalam hal itu pasal 10 undang-undang darurat
ini berlaku sepadan;
b. memutus
bahwa tindakan tata-tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan d dilakukan
dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.
(2) Putusan
itu diumumkan oleh panitera dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih
surat kabar yang akan ditunjuk oleh hakim. Turunan dari putusan itu
disampaikan kepada rumah di mana orang itu meninggal dunia.
(3) Setiap
orang yang berkepentingan dapat memajukan surat keberatan kepada panitera
pengadilan atas putusan itu dalam masa tiga bulan setelah pengumuman
termaksud ayat 2.
(4)
Dalam hal itu jaksa didengar; pihak yang berkepentingan itu didengar juga,
setidak-tidaknya dipanggil semestinya untuk menghadap.
(5)
Putusan hakim harus memuat alasan-alasan. Terhadap putusan itu tidak dapat
dimintakan bandingan atau kasasi.
(6)
Ketentuan tersebut dalam ayat 1 pada permulaan kalimat dan di bawah a berlaku
juga, jika berdasarkan alasan-alasan dapat diterima bahwa tindak-pidana
ekonomi itu dilakukan oleh seorang yang tidak dikenal. Putusan itu diumumkan
dalam Berita Negara dan di dalam satu atau lebih surat kabar yang akan
ditunjuk oleh hakim.
|
||||
Terorisme
|
35
|
Pasal 35
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil
secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah,
maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang
berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan
segala keterangan saksi dan surat‑surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya
dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran
terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan,
kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan
kasasi atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia
sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang
bersangkutan telah melakukan tindak pidana terorisme, maka hakim atas
tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telah
disita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya hukum.
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat
mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
|
||||
5.
|
Jenis Upaya Paksa
|
Terorisme
|
29,30,31
|
Pasal 29
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim
berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan
pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang
berkaitan dengan terorisme.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau
hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis
dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a.nama
dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b.identitas
setiap orang yang telah dilaporkan oleh bank dan lembaga jasa keuangan kepada
penyidik, tersangka, atau terdakwa;
c.alasan
pemblokiran;
d.tindak
pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat
harta kekayaan berada.
(3) Bank dan lembaga jasa keuangan setelah
menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah
(4) Bank dan lembaga jasa keuangan wajib
menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut
umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal
pelaksanaan pemblokiran.
(5) Harta kekayaan yang diblokir harus tetap
berada pada bank dan lembaga jasa keuangan yang bersangkutan.
(6) Bank dan lembaga jasa keuangan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai
sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan
yang berlaku.
Pasal 30
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara
tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang
untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta
kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak
pidana terorisme.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak
berlaku ketentuan Undang‑undang yang mengatur tentang rahasia bank dan
kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan
secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a.nama
dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b.identitas
setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana
terorisme;
c.tindak
pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat
harta kekayaan berada.
(4)
a.Kepala
Kepolisian Daerah atau pejabat yang setingkat pada tingkat Pusat dalam hal
permintaan diajukan oleh penyidik;
b.Kepala
Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum;
c.Hakim
Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Pasal 31
(1) Berdasarkan bukti permulaan
yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), penyidik berhak:
a.membuka,
memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman
lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang
sedang diperiksa;
b. menyadap
pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan
untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan
Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat
(2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan
kepada atasan
penyidik.
|
||
Narkotika
|
75, 77,80
|
Pasal 75
Dalam rangka
melakukan penyidikan, penyidik BNN
berwenang:
Prekursor
Narkotika;
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran
gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika setelahterdapat bukti awal yangcukup;
penyerahan di bawah pengawasan;
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;dan
adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 77
(1) Penyadapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat
bukti permulaan yang
cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan
terhitung
sejak surat penyadapan diterima penyidik.
(2) Penyadapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari
ketua pengadilan.
(3) Penyadapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu yang sama.
(4) Tata
cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 80
Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga
berwenang:
barang bukti, termasuk harta kekayaan yang
disita kepada
jaksa penuntut umum;
keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang
diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak
lain yang terkait;
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka
yang sedang diperiksa;
Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi
yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti
awal yang cukup ada hubungannya
dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar
negeri
|
||||
KPK
|
12
|
Pasal 12
(1) Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan,dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KomisI Pemberantasan Korupsi berwenang :
lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau
terdakwa yang sedang diperiksa;
pencabutan sementara perizinan, lisensi serta
konsesi yang dilakukan atau dimiliki ole tersangka atau terdakwa yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada
hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
untuk
melakukan penangkapan,penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara
tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
|
||||
Pencucian
uang
|
32,33,34
|
Pasal 32
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan
kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta
Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik,
tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan
secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut
umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau
didakwakan; dan
e. tempat Harta Kekayaan berada.
(3) Penyedia Jasa Keuangan setelah menerima perintah penyidik,
penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib
melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima.
(4) Penyedia
Jasa Keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada
penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja
terhitung sejak tanggal
pelaksanaan pemblokiran.
(5) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia
Jasa Keuangan yang bersangkutan.
(6) Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai
dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Pasal 33
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian
uang, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta
keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang
yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang‑undang
yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan
lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan
menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut
umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah
dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa;
c. tindak pidana yang disangkakan atau
didakwakan; dan
d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh:
a. Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh
penyidik;
b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh
penuntut umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang
bersangkutan.
Pasal 34
Dalam hal diperoleh bukti
yang cukup sebagai hasil pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa,
hakim memerintahkan penyitaan terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau
patut diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh penyidik atau
penuntut umum.
|
||||
6.
|
Jangka waktu penangkapan
|
19
(1)
|
Pasal
19
(1) penangkapan sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama 1 hari.
|
Terorisme
|
28
|
Pasal 28
Penyidik dapat
melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan
tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua
puluh empat) jam.
|
Narkotika
|
76
|
(1) Pelaksanaan
kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan
paling lama 3
x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak surat penangkapan diterima penyidik.
(2) Penangkapansebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua
puluh empat) jam
|
||||
7.
|
Ganti Rugi terhadap korban
|
98
|
Pasal
19
(1) Jika
suatu perbuatan menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidan oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim
ketua siding atas permintaan orang itudapat menetapkan untuk menggabungkan
perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidan itu.
(2) Permintaan
sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya
sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum
tidak hadir permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
|
Terorisme
|
36,37,38,
39,
40, 41, 42.
|
KOMPENSASI,
RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 36
(1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat
tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh
Pemerintah.
(3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban
atau ahli warisnya.
(4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut
diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
Pasal 37
(1) Setiap orang berhak memperoleh
rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
Pasal 38
(1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh
korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan
pengadilan negeri.
(2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh
korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar
putusan.
(3) Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh
korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 39
Menteri Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling
lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.
Pasal 40
(1) Pelaksanaan pemberian kompensasi
dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga
kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti
pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut.
(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan
pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.
(3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda
bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan
pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 41
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian
kompensasi dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat
melaporkan hal tersebut kepada pengadilan.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) segera memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga
untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Pasal 42
Dalam hal
pemberian kompensasi dan/atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap, maka
setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan dilaporkan kepada
pengadilan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar