PIDANA
DAN PEMIDANAAN DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
PIDANA KHUSUS
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
Kelompok I:
1. Eka
Periaman Zai
Fakultas
Hukum
Universitas
Bung Hatta
Padang,
T.A 2010/2011
BAB I
PENDAHULUAN
KUHP yang
berlaku sekarang ini adalah KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda yang
berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang
mulai berlaku tahun 1918, yang berasal dari W v Sr yang dibentuk pada
tahun 1881 oleh pemerintah Belanda. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945
berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
maka KUHP tersebut dinyatakan tetap berlaku di seluruh wilayah Indonesia
untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum), dan disesuaikan dengan
keadaan Indonesia setelah merdeka oleh UU No.1 tahun 1946 juncto UU No.73 Tahun
1958.
KUHP tersebut
sering mengalami ketertinggalan dari perkembangan kejahatan yang terjadi di
masyarakat sehingga harus ditambal sulam untuk mengikuti perkembangan tersebut.
Akibatnya lahirlah UU yang merubah dan menambah KUHP. Walaupun demikian masih
saja KUHP tetap tertinggal dari perkembangan kejahatan oleh karena itu selain
UU yang mengubah secara partial dan menambah KUHP, dibuat pula UU hukum pidana
yang tersebar di luar KUHP atau yang disebut hukum pidana khusus seperti UU
No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut UUPTPK), juncto UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk
membentuk UU pidana khusus harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti
yang dikemukakan oleh Loebby Loqman1, yang intinya penulis simpulkan sebagai
berikut : bahwa suatu perbuatan itu harus diatur tersendiri dalam UU pidana khusus
disebabkan oleh karena :
1. Jika dimasukkan kedalam kodifikasi
(KUHP) akan merusak sistem kodifikasi tersebut;
2. Karena adanya keadaan tertentu
misalnya keadaan darurat; dan
3. Karena kesulitan melakukan perubahan
atau penambahan dalam kodifikasi, karena dalam
hal tertentu dikehendaki adanya penyimpangan sistem yang telah ada
sebelumnya.
Dari kriteria
tersebut di atas dihubungkan dengan UU No. 31 tahun 1999 juncto UU No.20 tahun
2001, diketahui bahwa ada hal-hal yang khusus dalam UU tersebut yang berbeda
dengan KUHP misalnya : masalah percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana, dijatuhi pidana sama dengan pidana yang
dijatuhkan pada pelaku delik, dan masalah korporasi sebagai subjek hukum
pidana, dimana korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan. Jadi UUPTPK tidak dapat dimasukkan dalam KUHP karena hal
hal khusus yang diatur dalam UUPTPK akan mengubah sistem KUHP. Penyimpangan
UUPTPK terhadap KUHP dibolehkan berdasarkan pasal 103 KUHP yang bunyinya :
“ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai
dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi peraturan peraturan yang oleh
ketentuan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh
undangundang ditentukan lain”.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah
pengertian Pidana ?
2. Bagaimakah
pengertian dan bentuk pemidanaan itu
sendiri ?
3. Bagaimakah
bentuk pemidanaan dalam tindak pidana korupsi ?
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pidana
Kebanyakan kalangan menerjemahkan Pidana sebagai Hukuman, padahal hukuman
bukan hanya ada dalam Hukum Pidana, tetapi hampir setiap bidang hukum juga
mengenakan hukuman kepada pelanggalr normanya. Lebih janggal kalau pidana
diartikan sebagai hukuman, maka Hukum Pidana diterjemahkan sebagai
Hukum/Hukuman. Pidana dalam Hukum Pidana tidak memiliki arti yang konvensional
seperti yang dikemukakan diatas, akan tetapi memiliki pengertian khusus yang
tidak sama dengan hukuman pada lapangan/bidang hukum lain diluar Hukum Pidana. Selain
Pidana, dikenal pula Pemidanaan, atau yang dimaksud sebagai pengenaan/
pemberian/ penjatuhan pidana. Pemidanaan lebih berkonotasi pada proses
penjatuhan pidana dan proses menjalankan pidana, sehingga ada dalam ruanglingkup
Hukum Panitensir.
Kedua persoalan itu (pidana dan pemidanaan) sangatlah penting dikaji, selain memiliki makna sentral sebagai bagian integral dari substansi Hukum Pidana, sekaligus memberi gambaran luas tentang karakteristik Hukum Pidana.
Sudarto (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992: 2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Kedua persoalan itu (pidana dan pemidanaan) sangatlah penting dikaji, selain memiliki makna sentral sebagai bagian integral dari substansi Hukum Pidana, sekaligus memberi gambaran luas tentang karakteristik Hukum Pidana.
Sudarto (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992: 2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992: 4) dalam simpulannya tentang pidana mengandung
ciri-ciri sebagai berikut :
(1) pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
(2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
(3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
(1) pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
(2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
(3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Hart yang pendapatnya dikutip oleh Packer (1968: 21) mengemukakan lima
karakteristik yang harus ada dati suatu “punishment”, yaitu : HALAMAN 84.
Menurut pandangan Hart bahwa pidana haruslah mengandung penderitaan atau
konsekuensi normal yang tidak menyenangkan. Pidana itu haruslah ditujukan
kepada suatu pelanggaran aturan hukum.pidana harus dikenakan untuk membuktikan
kepada pelanggar tentang delik yang dilakukannya, dan pidana itu harus
dikenakan oleh badan yang berwenang dalam suatu system hukum disebabkan adanya
suatu perbuatan kriminal (delik).
Akan tetapi harus dicatat bahwa tidak semua pengenaan derita dan keadaan tidak menyenangkan sama dengan pidana. Seperti pemberian electricity shock, dokter gigi yang mencabut gigi pasien. Perbuatan itu dimaksud mengenakan derita dan perasaan tidak menyenangkan tetapi bukan pidana. Untuk dapat dikatakan adanya pidana, apabila ada pernyataan pencelaan perbuatan pembuat delik. Sehingga dalam hal ini tepat yang dinyatakan oleh Roeslan Saleh (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1990: 2) bahwa Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.
Akan tetapi harus dicatat bahwa tidak semua pengenaan derita dan keadaan tidak menyenangkan sama dengan pidana. Seperti pemberian electricity shock, dokter gigi yang mencabut gigi pasien. Perbuatan itu dimaksud mengenakan derita dan perasaan tidak menyenangkan tetapi bukan pidana. Untuk dapat dikatakan adanya pidana, apabila ada pernyataan pencelaan perbuatan pembuat delik. Sehingga dalam hal ini tepat yang dinyatakan oleh Roeslan Saleh (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1990: 2) bahwa Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.
2.
Pengertian
Dan Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan
* Secara
singkat, “sistem pemidanaan” dapat diartikan sebagai “sistem pemberian atau penjatuhan pidana”.
* Sistem
pemberian/penjatuhan pidana (sistem
pemidanaan) itu dapat dili-hat
dari 2 (dua) sudut :
(1)
Dari
sudut fungsional (dari sudut
bekerjanya/berfungsinya/proses-nya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai
:
· Keseluruhan
sistem (aturan perundang-undangan) untuk
fungsionali-sasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana;
· Keseluruhan
sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau
dioperasionalkan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi
sanksi (hukum) pidana.
Dengan
pengertian demikian, maka sistem
pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari
sub-sistem Hukum Pidana Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan
sub-sistem Hukum Pelaksanaan Pidana.
Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin
hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu
sub-sistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut
dengan “sistem pemidanaan fungsional”
atau “sistem pemidanaan dalam arti luas”.
(2)
Dari
sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-norma
hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :
· Keseluruhan
sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pe-midanaan; atau
· Keseluruhan
sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan
pelaksanaan pidana;
Dengan
pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam
KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada
hakikatnya merupakan satu
kesatuan sistem pemidanaan, yang
terdiri dari “aturan umum” (“general
rules”) dan “aturan khusus” (“special
rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus
terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP.
Dengan demikian, sistem hukum pidana substantif (sistem pemidanaan substantif) saat ini dapat diragakan sebagai
berikut :
GENERAL
RULES
BUKU I
KUHP
|
SPECIAL
RULES
|
|
Bk.
II
KUHP
|
Bk.
III
KUHP
|
|
UU KHUSUS
(DI LUAR KUHP)
|
bertolak
dari penghertian diatas, sistem pemidanaan subtabtif dapat di-gambarkan secara
lebih sederhana dengan ragaan sebagai berikut :
Berdasarkan
uraian di atas, tulisan ini hanya membatasi pengertian sistem pemidanaan dalam
arti yang kedua, yaitu sistem pemidanaan substantif yang terdapat dalam RUU
KUHP, khususnya yang terdapat di dalam “Ketentuan Umum” Buku I Konsep RUU KUHP
2004.
3. Pemidanaan dalam Tindak Pidana Korupsi
Jenis Penjatuhan
Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
1. Pidana Mati
Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dilakukan dalam “keadaan tertentu”. Adapun yang dimaksud keadaan tertentu adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).
2. Pidana Penjara
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pasal 2 ayat 1, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasasl 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasasl 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24.
3. Pidana Tambahan
a.Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
b.Pembayaran uang penganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c.Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun .
d.Pencabutan seluruh atau sebagaian hak-hak tertentu atau pengahpusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
e.Jika terpidana tidak membayar uang penganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
f.Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mecukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
4. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya.
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.
5. Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan Pasal 20 (ayat 1-6 ) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
1. Pidana Mati
Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dilakukan dalam “keadaan tertentu”. Adapun yang dimaksud keadaan tertentu adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).
2. Pidana Penjara
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pasal 2 ayat 1, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasasl 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasasl 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24.
3. Pidana Tambahan
a.Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
b.Pembayaran uang penganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c.Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun .
d.Pencabutan seluruh atau sebagaian hak-hak tertentu atau pengahpusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
e.Jika terpidana tidak membayar uang penganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
f.Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mecukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
4. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya.
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.
5. Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan Pasal 20 (ayat 1-6 ) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Pola pemidanaan
pada tindak pidana Korupsi.
1.
Tunggal
2.
Alternatif
3.
Kumulatif
4.
Alternatif/kumulatif.
Dalam pemidanaan
tindak pidana korupsi ini merupakanm delik Formal dan bukan delik materil yang
delik pidananya dititiberatkan pada akibat yang dilakukannya. Contohnya pasal
338 yang akibatnya menghilangkan nyawa seseorang.
Karena tindak
pidana korupsi merupakan delik formal, maka pemidanaannya dititiberatkan pada
perbuatannya. Dan dalam hal pembuktiannya, tidak diperhitungkan sekali berapa
besar korupsi yang telah dilakukan oleh si koruptor.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas, jelas terlihat kepada kita
semua bahwa dalam hal pidana dan pemidanaan pada pidan khusus terdapat
penyimpangan-penyimpangan dari KUHP itu sendiri. Hal itu jelas tampak dalam
pola pemidanaan dalam pidana khusus yang memperbolehkan di jatuhkannya pidana
pokok secara bersamaan dengan pidana pokok lain. Misalnya pidana penjara dan
pidana denda. Pidana khusus terhadap KUHP itu sendiri hanya mempunyai hubungan
dalam hal BAB I KUHP. Sedangkan BAB II dan BAB III dalam KUHP sama halnya
sebagai subtantif sistem pemidanaan dengan Undang-Undang tindak pidana khusus
lainnya.
Penyimpangan itu
juga terlihat dalam subjek hukum pidana khusus itu sendiri. Dalam proses
penjatuhan pidana dalam KUHP tidak mengenal apa yang dimaksud dengan Korporasi,
tetapi dalam tindak pidana khusus, Korporasi dikenal dan sanksi yang dijatuhi
kepada korporasi adalah dalam bentuk tunggal yaitu dalam bentuk denda.
Dalam hal tindak
pidana dilakukan secara bersamaan yakni tindak pidana dalam KUHP misalnya
Pembunuhan dan Pidana korupsi, maka dalam hal penyelesaian tindak pidana yang
didahulukan penyelesaiaannya adalah tindak pidana korupsi seperti halnya
terdapat dalam pasal 25 undang-undang no 31 tahun 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar