Sabtu, 08 September 2012

Makalah Hukum Penitensir

-->
PIDANA DAN PEMIDANAAN DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA KHUSUS



D
I
S
U
S
U
N
Oleh Kelompok  I:
1.      Eka Periaman Zai


Fakultas Hukum
Universitas Bung Hatta
Padang, T.A 2010/2011

BAB I
PENDAHULUAN
KUHP yang berlaku sekarang ini adalah KUHP warisan pemerintah kolonial Belanda yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang mulai berlaku tahun 1918, yang berasal dari W v Sr yang dibentuk pada tahun 1881 oleh pemerintah Belanda. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,  maka KUHP tersebut dinyatakan tetap berlaku di seluruh wilayah Indonesia untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum), dan disesuaikan dengan keadaan Indonesia setelah merdeka oleh UU No.1 tahun 1946 juncto UU No.73 Tahun 1958.
KUHP tersebut sering mengalami ketertinggalan dari perkembangan kejahatan yang terjadi di masyarakat sehingga harus ditambal sulam untuk mengikuti perkembangan tersebut. Akibatnya lahirlah UU yang merubah dan menambah KUHP. Walaupun demikian masih saja KUHP tetap tertinggal dari perkembangan kejahatan oleh karena itu selain UU yang mengubah secara partial dan menambah KUHP, dibuat pula UU hukum pidana yang tersebar di luar KUHP atau yang disebut hukum pidana khusus seperti UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UUPTPK), juncto UU No.20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk membentuk UU pidana khusus harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti yang dikemukakan oleh Loebby Loqman1, yang intinya penulis simpulkan sebagai berikut : bahwa suatu perbuatan itu harus diatur tersendiri dalam UU pidana khusus disebabkan oleh karena :
1. Jika dimasukkan kedalam kodifikasi (KUHP) akan merusak sistem kodifikasi tersebut;
2. Karena adanya keadaan tertentu misalnya keadaan darurat; dan
3. Karena kesulitan melakukan perubahan atau penambahan dalam kodifikasi, karena dalam   hal tertentu dikehendaki adanya penyimpangan sistem yang telah ada sebelumnya.
Dari kriteria tersebut di atas dihubungkan dengan UU No. 31 tahun 1999 juncto UU No.20 tahun 2001, diketahui bahwa ada hal-hal yang khusus dalam UU tersebut yang berbeda dengan KUHP misalnya : masalah percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana, dijatuhi pidana sama dengan pidana yang dijatuhkan pada pelaku delik, dan masalah korporasi sebagai subjek hukum pidana, dimana korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan. Jadi UUPTPK tidak dapat dimasukkan dalam KUHP karena hal hal khusus yang diatur dalam UUPTPK akan mengubah sistem KUHP. Penyimpangan UUPTPK terhadap KUHP dibolehkan berdasarkan pasal 103 KUHP yang bunyinya :
“ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi peraturan peraturan yang oleh ketentuan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undangundang ditentukan lain”.

BAB II
RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah pengertian Pidana ?
2.      Bagaimakah pengertian dan bentuk  pemidanaan itu sendiri ?
3.      Bagaimakah bentuk pemidanaan dalam tindak pidana korupsi ?

BAB III
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Pidana
Kebanyakan kalangan menerjemahkan Pidana sebagai Hukuman, padahal hukuman bukan hanya ada dalam Hukum Pidana, tetapi hampir setiap bidang hukum juga mengenakan hukuman kepada pelanggalr normanya. Lebih janggal kalau pidana diartikan sebagai hukuman, maka Hukum Pidana diterjemahkan sebagai Hukum/Hukuman. Pidana dalam Hukum Pidana tidak memiliki arti yang konvensional seperti yang dikemukakan diatas, akan tetapi memiliki pengertian khusus yang tidak sama dengan hukuman pada lapangan/bidang hukum lain diluar Hukum Pidana. Selain Pidana, dikenal pula Pemidanaan, atau yang dimaksud sebagai pengenaan/ pemberian/ penjatuhan pidana. Pemidanaan lebih berkonotasi pada proses penjatuhan pidana dan proses menjalankan pidana, sehingga ada dalam ruanglingkup Hukum Panitensir.
Kedua persoalan itu (pidana dan pemidanaan) sangatlah penting dikaji, selain memiliki makna sentral sebagai bagian integral dari substansi Hukum Pidana, sekaligus memberi gambaran luas tentang karakteristik Hukum Pidana.
Sudarto (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992: 2) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992: 4) dalam simpulannya tentang pidana mengandung ciri-ciri sebagai berikut :
(1) pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
(2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
(3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Hart yang pendapatnya dikutip oleh Packer (1968: 21) mengemukakan lima karakteristik yang harus ada dati suatu “punishment”, yaitu : HALAMAN 84. Menurut pandangan Hart bahwa pidana haruslah mengandung penderitaan atau konsekuensi normal yang tidak menyenangkan. Pidana itu haruslah ditujukan kepada suatu pelanggaran aturan hukum.pidana harus dikenakan untuk membuktikan kepada pelanggar tentang delik yang dilakukannya, dan pidana itu harus dikenakan oleh badan yang berwenang dalam suatu system hukum disebabkan adanya suatu perbuatan kriminal (delik).
Akan tetapi harus dicatat bahwa tidak semua pengenaan derita dan keadaan tidak menyenangkan sama dengan pidana. Seperti pemberian electricity shock, dokter gigi yang mencabut gigi pasien. Perbuatan itu dimaksud mengenakan derita dan perasaan tidak menyenangkan tetapi bukan pidana. Untuk dapat dikatakan adanya pidana, apabila ada pernyataan pencelaan perbuatan pembuat delik. Sehingga dalam hal ini tepat yang dinyatakan oleh Roeslan Saleh (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1990: 2) bahwa Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.
2.      Pengertian Dan Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan
*      Secara singkat, “sistem pemidanaan” dapat diartikan sebagai “sistem pemberian  atau penjatuhan pidana”.
*      Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem  pemidanaan)   itu dapat dili-hat dari 2 (dua) sudut :
(1)    Dari sudut fungsional (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/proses-nya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :
·      Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionali-sasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana;
·      Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana   hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara  konkret sehingga  seseorang  dijatuhi  sanksi  (hukum)  pidana.
Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan  Pidana. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub-sistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan “sistem pemidanaan fungsional” atau “sistem pemidanaan dalam arti luas.
(2)    Dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :
·      Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pe-midanaan; atau
·      Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana;
Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada  hakikatnya  merupakan  satu  kesatuan   sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP. Dengan demikian, sistem hukum pidana substantif (sistem pemidanaan substantif) saat ini dapat diragakan sebagai berikut :

Text Box:












GENERAL RULES

BUKU I
KUHP

SPECIAL
RULES
Bk. II
KUHP
Bk. III
KUHP

UU KHUSUS
(DI LUAR KUHP)











bertolak dari penghertian diatas, sistem pemidanaan subtabtif dapat di-gambarkan secara lebih sederhana dengan ragaan sebagai berikut :
Oval: SISTEM
PEMIDANAAN 
SUBSTANTIFOval: ATURAN KHUSUS
(Special Rules)
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini hanya membatasi pengertian sistem pemidanaan dalam arti yang kedua, yaitu sistem pemidanaan substantif yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang terdapat di dalam “Ketentuan Umum” Buku I Konsep RUU KUHP 2004.
3.      Pemidanaan dalam Tindak Pidana Korupsi
Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi

1. Pidana Mati
Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dilakukan dalam “keadaan tertentu”. Adapun yang dimaksud keadaan tertentu adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).

2. Pidana Penjara
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pasal 2 ayat 1, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasasl 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasasl 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24.

3. Pidana Tambahan
a.Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
b.Pembayaran uang penganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c.Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun .
d.Pencabutan seluruh atau sebagaian hak-hak tertentu atau pengahpusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
e.Jika terpidana tidak membayar uang penganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
f.Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mecukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

4. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya.
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.

5. Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui prosedural ketentuan Pasal 20 (ayat 1-6 ) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Pola pemidanaan pada tindak pidana Korupsi.
1.      Tunggal          
2.      Alternatif       
3.      Kumulatif
4.      Alternatif/kumulatif.

Dalam pemidanaan tindak pidana korupsi ini merupakanm delik Formal dan bukan delik materil yang delik pidananya dititiberatkan pada akibat yang dilakukannya. Contohnya pasal 338 yang akibatnya menghilangkan nyawa seseorang.
Karena tindak pidana korupsi merupakan delik formal, maka pemidanaannya dititiberatkan pada perbuatannya. Dan dalam hal pembuktiannya, tidak diperhitungkan sekali berapa besar korupsi yang telah dilakukan oleh si koruptor.
BAB IV
KESIMPULAN
            Dari pemaparan diatas, jelas terlihat kepada kita semua bahwa dalam hal pidana dan pemidanaan pada pidan khusus terdapat penyimpangan-penyimpangan dari KUHP itu sendiri. Hal itu jelas tampak dalam pola pemidanaan dalam pidana khusus yang memperbolehkan di jatuhkannya pidana pokok secara bersamaan dengan pidana pokok lain. Misalnya pidana penjara dan pidana denda. Pidana khusus terhadap KUHP itu sendiri hanya mempunyai hubungan dalam hal BAB I KUHP. Sedangkan BAB II dan BAB III dalam KUHP sama halnya sebagai subtantif sistem pemidanaan dengan Undang-Undang tindak pidana khusus lainnya.
Penyimpangan itu juga terlihat dalam subjek hukum pidana khusus itu sendiri. Dalam proses penjatuhan pidana dalam KUHP tidak mengenal apa yang dimaksud dengan Korporasi, tetapi dalam tindak pidana khusus, Korporasi dikenal dan sanksi yang dijatuhi kepada korporasi adalah dalam bentuk tunggal yaitu dalam bentuk denda.
Dalam hal tindak pidana dilakukan secara bersamaan yakni tindak pidana dalam KUHP misalnya Pembunuhan dan Pidana korupsi, maka dalam hal penyelesaian tindak pidana yang didahulukan penyelesaiaannya adalah tindak pidana korupsi seperti halnya terdapat dalam pasal 25 undang-undang no 31 tahun 1999.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar